Monday, March 9, 2015

TERLAMBAT - Part 2

Oke, jadi setelah sekian lama nggak update blog, pada kesempatan kali ini gue langsung aja deh. Ngelanjutin cerpen "Terlambat" yang sebenernya juga udah terlambat ngepostnya, hahaha. Tapi gapapa lah, selamat membaca! (mending ada yang baca...)


Perasaanku semakin tidak karuan disaat bel sekolah berbunyi, Cinta belum kunjung datang. Rasa khawatirku sudah tidak bisa ditahan lagi, sudah tidak bisa di-sinkron-kan dengan pikiran-pikiran positif.

Hari itu, aku terpaksa berbohong kepada guru olahraga. Aku meminta izin tidak olahraga dengan alasan perutku yang sedang tidak beres.

Dengan alasan itu, aku sedang berada di kelas sendirian. Sudah beberapa kali aku mencoba menghubungi Cinta. Sudah 5 sms aku kirim ke nomor handphone-nya, namun tidak ada satu balasan pun. Ditelpon pun, tidak diangkat.

Hari itu aku mencoba meyakinkan diri, bahwa Cinta sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Hari demi hari berganti. Cinta masih saja belum menunjukkan keberadaannya. Setiap hari aku selalu berusaha menghubunginya, namun hasilnya nihil. Bahkan sekarang handphone Cinta sudah tidak aktif.

Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menunggu. Menunggu kabar dari Cinta, menunggu cinta datang ke sekolah. Sungguh, menunggu adalah hal yang paling aku benci. Namun, untuk Cinta, untuk orang yang sangat aku sayang, apapun akan aku lakukan.

Akhirnya tepat satu minggu berlalu. Cinta masih juga belum masuk. Hari ini aku berencana, setelah pulang sekolah, aku akan mencari tahu alamat rumah Cinta, lalu aku akan pergi ke rumahnya. Mencari tahu ada apa sebenarnya dengan Cinta.

Setelah pulang sekolah, aku langsung bergegas mencari teman-teman terdekat Cinta. Dengan satu tujuan: mencari tahu alamat rumah Cinta.

Satu per satu teman-teman terdekat Cinta mulai aku tanya. Dari teman-teman main, hingga sahabat terdekatnya. Akan tetapi, anehnya, mereka semua bilang kepadaku bahwa mereka tidak tahu keberadaan/alamat rumah Cinta saat ini.

Aku pun pulang tanpa hasil.

Hari demi hari berlalu, perasaanku makin tidak karuan.

Disaat aku sedang melamun di kelas, tiba-tiba seorang wanita membuyarkan lamunanku. Tiba-tiba saja ia memberikan sepotong kertas bertuliskan alamat. Aku tidak tahu apa maksud wanita tersebut, setelah memberikan sepotong kertas berisi alamat itu, ia pergi begitu saja, tanpa memperkenalkan dirinya.

Aku sudah mencoba mencarinya, tapi aku rasa, mencari satu orang siswi yang bahkan aku tidak mengenali wajahnya diantara ribuan siswi lainnya, itu suatu hal yang sangat sulit. Amat sangat sulit.

Akhirnya, tanpa berpikir panjang, sepulang sekolah aku langsung mencari alamat yang diberikan wanita tadi.

Kesana kemari tanpa arah, aku terus mencari. Berharap ada sesuatu yang akan membuat hatiku lega. Setelah bertanya-tanya, akhirnya aku mengetahui letak alamat rumah tersebut. Rumah tingkat dua berpagar cokelat menjadi tujuanku saat ini.

Aku memberanikan diri untuk ke rumah itu...

‘Assalamualaikum!’

‘Permisi!’

Tidak ada jawaban sama sekali. Memang, rumah itu terlihat sangat sepi dan seperti tidak terurus.

Tak lama kemudian, ada salah seorang warga yang lewat, dan aku bertanya kepadanya, ‘Maaf bu, kok rumah ini sepi banget ya bu? Pemiliknya pada ke mana?’ ‘Oh, bu Diana dan suaminya memang sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang menjaga anaknya di rumah sakit, jadi, rumah ini kosong’ ‘Hmm, apa ibu tau alamat rumah sakit tersebut?’ Tanyaku lagi.

Kemudian Ibu itu memberitahukan alamat rumah sakit tempat anak bu Diana dirawat, aku mencatatnya di handphone-ku. Aku pun berterimakasih pada Ibu tersebut, dan bergegas menuju rumah sakit tempat anak bu Diana dirawat.

Sepanjang jalan aku hanya bisa berharap bahwa anak bu Diana bukanlah Cinta.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung bertanya kepada salah satu suster mengenai anak bu Diana, di mana ia dirawat, di kamar nomor berapa, dan pertanyaan-pertanyaan yang membuat suster bingung dan keheranan.

Tapi akhirnya, suster itu mengantarkanku ke depan pintu kamar nomor 23.

Aku masih terdiam di depan pintu kamar yang bahkan aku tidak tau siapa di dalamnya. Aku memandangi sekelilingku, ‘sebenarnya, apa yang sedang aku lakukan di sini? Aku sedang apa?’ Tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang wanita dan lelaki keluar dari kamar nomor 23 tersebut,

‘sedang apa kamu disini? Kamu mencari siapa dek?’ kata wanita tersebut.

‘Hmmm, saya, hmmp, apakah ibu yang bernama bu Diana?’ Tanyaku, gugup.

‘Iya benar, ada apa? Kamu mencari siapa?’

‘Anak ibu dirawat di sini? Nama anak ibu siapa? Maaf bu kalau saya bersikap kurang sopan’

‘Benar, nama anak ibu... Cinta.’

Setelah itu, bu Diana menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Cinta. Sementara aku, aku menjelaskan siapa sebenarnya aku, dan untuk apa aku kesini.

‘Cinta mengidap penyakit kanker. Kata dokter, usianya sudah tidak lama lagi, kami hanya berharap keajaiban mampu membuat cinta bisa kembali seperti biasa.’ Kata bu Diana dengan mata sayu. Airmata sudah berlinang dimata-nya, namun, ia mampu menahannya.

Hatiku merasa terpukul. Sangat sakit rasanya. Sejak SMP, aku lah orang terdekat Cinta. Cinta selalu mempercayaiku untuk menjaga rahasia apapun. Tapi... tapi kenapa ia tidak cerita padaku soal penyakitnya. Apakah ia tak ingin penyakitnya menjadi pikiran untukku? Apakah ia tak ingin membuatku pusing karena penyakitnya? Entahlah...

Semua itu tidak penting untuk saat ini. Yang terpenting untuk saat ini adalah kesembuhan Cinta.

Mulai hari itu, aku selalu berdo’a kepada tuhan.. berdo’a untuk kesembuhan Cinta, agar Cinta dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Di setiap sholatku, selalu kusempatkan berdo’a untuk cinta. Aku tak ingin kehilangan Cinta, aku sangat menyayanginya.

Hari demi hari aku lewati... Hampir setiap pulang sekolah, aku menjenguk Cinta. Untuk sekedar mengecek perkembangan kesehatannya.

Pada suatu waktu saat pulang sekolah, aku sudah memiliki rencana menjenguk Cinta. Tapi, aku ingin memberikan kejutan kepada Cinta. Hari ini, aku akan membeli bunga mawar merah terlebih dahulu, bunga kesukaan Cinta.

Sepanjang jalan aku mencari toko bunga, dan akhirnya menemukan satu toko bunga. Dibantu pemilik toko, aku memilih bunga mawar merah yang harum dan sangat segar. Dengan semangat, aku menuju rumah sakit tempat Cinta dirawat.

Aku berjalan santai menyusuri sudut-sudut yang kosong, tanpa perasaan apapun, aku membuka pintu ruangan Cinta dirawat.

Aku kaget. Ternyata, Cinta tidak ada di ruangannya. Karena heran, aku bertanya pada salah satu suster di rumah sakit tersebut, ‘Sus, Cinta Ramadhani yang dirawat di kamar ini kok nggak ada ya?’ ‘Hmm, saya kurang tau dek. Tanyakan saja sama pihak keluarganya langsung’

Aku langsung berlari ke lantai bawah, sambil melirik kanan-kiri berharap melihat bu Diana, tapi aku tak melihatnya. Hatiku makin tak karuan. Aku panik, sangat panik.

Di rumah bu Diana pun, aku tak menemukan Cinta, atau bahkan penghuni rumahnya. Rumahnya sedang kosong.

Tak lama kemudian, handphoneku berbunyi, tanda masuknya pesan baru. Perasaanku cukup lega saat mengetahui pengirim pesannya adalah bu Diana, namun... isinya membuatku tak berdaya. Jantungku terasa sudah tidak kuat untuk berdetak, nafasku tersendat-sendat, dan perasaanku hancur tidak karuan.

‘Adam, do’ain ya supaya Cinta tenang di sana, dan semoga Cinta diterima di sisi Tuhan. Kamu harus sabar ya, tante tau kok perasaan kamu sama Cinta. Kalau tante aja bisa sabar dan tabah, kamu juga harus bisa ya!’

Itulah pesan dari bu Diana.

Iya, benar... Cinta telah pergi. Pergi untuk selama-lamanya. Pergi meninggalkan sejuta kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Jika ada sesuatu yang mengharuskan aku melupakannya, aku akan selalu mempunyai seribu alasan untuk tidak melupakannya.

Kepergian Cinta sama sekali tidak pernah aku bayangkan. Aku sangat tidak menyangka. Aku tak percaya, mengapa semua berlalu begitu cepat. Bahkan aku sangat tidak mengerti, mengapa Tuhan menjemput Cinta terlebih dahulu.

Tapi semua ini memang sudah menjadi takdir. Semua sudah di-atur oleh-Nya. Tidak ada satu orang pun yang tau akan takdir Yang Maha Kuasa.

Aku bahkan belum sempat menyatakan perasaanku kepada Cinta. Menyatakan sebuah perasaan yang belakangan ini aku pendam. Cinta, rasa Cinta. Sebut saja aku pengecut. Aku tak berani mengungkapkan perasaan ini, bahkan sampai Cinta telah pergi untuk selama-lamanya.

Saat penyesalan selalu datang belakangan bersama kekecewaan, menurutku, mungkin itu yang disebut dengan terlambat.

THE END!

1 comment: